Pengantar
Diskusi peranan pendidikan dalam mengentaskan kemiskinan senantiasa
menarik dicermati. Pada satu sisi pendidikan diyakini sebagai sarana ideal
menghapuskan kemiskinan karena memampukan peserta didik untuk memasuki dunia
kerja. Namun pada sisi lain, muncul pula vonis pendidikan tidak siap pakai.
Tulisan ini mencoba menelaah problematik dunia pendidikan untuk ikut
berkontribusi mengentaskan kemiskinan. Istilah pendidikan dalam tulisan ini
lebih mengacu pada pendidikan formal (sekolah). Ini bertolak dari kenyataan
bahwa sejauh ini pendidikan formal masih menjadi pilihan utama masyarakat dalam
proses pendidikannya.
Realitas Kemiskinan
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2006 melaporkan bahwa
jumlah penduduk miskin mencapai 39,05 juta (17,75%). Padahal bulan Februari
2005 angka penduduk miskin adalah 35,10 juta (15,97%). Ini berarti dalam kurun
waktu satu tahun saja telah terjadi peningkatan penduduk miskin sebesar kurang
lebih 3,95 juta atau sekitar 1,78%. Bila merujuk data Bank Dunia, jumlah
penduduk miskin di Indonesia bahkan lebih besar lagi, mencapai 120.150.000 atau sekitar 53,4 %. Perbedaan
ini bertolak dari indikator yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah orang
miskin. Salah satu indikator yang digunakan BPS untuk menentukan kategori orang
miskin adalah memiliki penghasilan sebesar 122.000 rupiah per bulan. Sementara
Bank Dunia mengkategorikan orang miskin bila memiliki penghasilan 1 dolar per
hari atau kurang dari 1 dolar. Itu berarti setara dengan kurang lebih 270.000 ribu per bulan. Perkembangan menggembirakan
terjadi di tahun 2007 ketika BPS melaporkan penduduk miskin di Indonesia berkurang
2,13 juta orang yang berarti tinggal 37,17
juta (16,58%). Meski demikian keakuratan data ini justru
disangsikan banyak kalangan.
Sejauh ini upaya
mengentaskan kemiskinan masih terfokus pada program-program yang langsung
terkait dengan kemiskinan. Ada banyak program yang telah digulirkan pemerintah. Pada masa pemerintahan
orde baru, misalnya di bidang pertanian terdapat Program Diversifikasi Pangan
dan Gizi berupa pemberian bibit tanaman, bibit unggas, dan bibit ikan.
Departemen sosial dengan program domba bergulir. Semua program tersebut
nampaknya mengalami kegagalan. Pada masa
itu pemerintah juga mencanangkan program inpres desa tertinggal, kredit Bimas
(Bimbingan Massal).
Kementrian
Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) bahkan memiliki Direktorat
Penanggulangan Kemiskinan yang memiliki tugas melaksanakan penyiapan perumusan
kebijakan, koordinasi, sinkronisasi pelaksanaan penyusunan dan evaluasi
pembangunan nasional di bidang penanggulangan kemiskinan, serta pemantauan dan
penilaian atas pelaksanaannya. Masyarakat Indonesia pun kini akrab dengan
program-program seperti dana subsidi BBM untuk rakyat miskin yang kemudian
muncul dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT), Jaringan Pengamanan Sosial
(JPS), bantuan beras bagi rakyat miskin (raskin). Sayangnya, program-program
tersebut belum mampu menghapus kemiskinan dari tanah air ini. Faktor pendataan yang tidak akurat sehingga salah
sasaran, ketidaktegasan dalam menegakan aturan, dan yang paling populer
adalah penyelewengan alias dikorupsi. Pada tahun 2007 misalnya pemerintah
menyediakan dana sebesar 54 triliun rupiah. Dari alokasi tersebut yang
tersentuh secara langsung dengan kemiskinan hanya mencapai 5 triliun. Pada
tahun 2008, pemerintah berencana
mengalokasi dana pengentasan kemiskinan sebesar 62 triliun. Berapa dari alokasi
tersebut yang akan langsung tersentuh dengan kemiskinan?
Hal menarik dari upaya pengentasan kemiskinan diuraikan oleh
Prof. Dr. Hj. Sutyastie Soemitro Remi dan Prof. Dr. Prijono Tjiptoherjanto
dalam bukunya Kemiskinan dan
Ketidakmerataan di Indonesia. Dalam catatan kedua pakar ini disebutkan
bahwa "keberhasilan pemerintah orde baru menurunkan jumlah penduduk miskin
lebih dari separuh selama kurun waktu dua dasawarsa ternyata ditopang berbagai
kebijakan di luar program penanggulangan kemiskinan itu sendiri.
Program-program tersebut yang memberi andil besar dalam upaya pengurangan kaum
miskin di Indonesia. Program itu antara lain; pertama, keberhasilan pelaksanaan program Keluarga Berencana. Kedua, pertumbuhan sektor industri dan jasa selama
dua dasawarsa sampai akhir 1996. Sebagaimana diketahui bahwa kedua sektor ini
memberi upah yang lebih tinggi dibandingkan sebagai buruh tani yang menjadi
kantong kemiskinan terbesar. Ketiga,
faktor sosiologis dan psikologis berupa keinginan penduduk miskin itu sendiri
untuk keluar dari jebakan kemiskinan. Sayangnya, dalam masa krisis sekarang
program keluarga berencana kurang mendapat perhatian. Apalagi setelah institusi
yang menangani masalah kependudukan dibubarkan. Sementara sektor industri
dan jasa sekarang ini semakin sulit diharapkan sebagai dampak keengganan para
investor menanamkan modalnya di Indonesia akibat krisis multidimensional tanpa
akhir.”
Apa yang diungkapkan kedua pakar di atas
paling tidak menyiratkan 2 hal penting yang patut mendapat perhatian, yaitu: 1)
upaya pengentasan kemiskinan tidak harus melalui upaya yang langsung
berhubungan dengan kemiskinan. Dalam jangka pendek program-program seperti BLT
dan sejenisnya memang harus ditempuh untuk menjamin kelangsungan hidup kaum
papa. Namun dalam jangka panjang program-program tersebut dapat dipandang
sebagai sebuah bentuk pembodohan bagi masyarakat dengan tampilan yang cantik
dan penuh pesona kemanusiaan. Melalui program tersebut masyarakat miskin justru
kurang diberdayakan menuju kemandirian. 2) upaya pengentasan kemiskinan harus
menempatkan kaum miskin sebagai subyek yang menentukan dan bukan sekedar obyek.
Dalam konteks ini upaya pengentasan kemiskinan harus dimulai dengan membangun
potensi atau kapasitas kemanusiaan kaum miskin
yang meliputi pola pikir, keyakinan, sikap mental, kebiasaan, dan
ketrampilan. Dengan pola pikir yang benar dan skill yang memadai kaum miskin
dapat keluar dari jerat kemiskinan.
Pendidikan dan Kemiskinan
Upaya meningkatkan kapasitas manusia dengan
demikian sangat urgen sehingga menjadi pilihan yang harus diupayakan dengan
komitmen tinggi. Sampai sejauh ini pendidikan masih dipercaya sebagai pusat
pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Alur berpikir yang umum digunakan ketika dihadapkan pada
topik mengentaskan kemiskinan melalui pendidikan yaitu bahwa pendidikan akan
menciptakan manusia yang berkualitas. Semakin tinggi pendidikan seseorang jaminan
kualitas pun bertambah, maka peluang mendapat pekerjaan dengan upah yang lebih
tinggi lebih terbuka. Dengan upah yang lebih tinggi maka standar dan kualitas
hidup yang dijalani lebih layak. Artinya mereka berkesempatan luas untuk
terlepas dari jeratan kemiskinan. Dalam konteks pelaksanaan pembangunan,
pemerintah Indonesia dari periode manapun senantiasa berupaya memacu bidang
ekonomi untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi sebagai upaya untuk menciptakan
kesejahteraan bagi rakyatnya. Salah satu landasan yang harus dimiliki dalam upaya tersebut adalah tersedianya
sumber daya manusia (SDM) yang memadai terutama dari segi kualitas.
Alur berpikir ini seolah memperoleh penguatan dari teori
modal manusia dengan para
pendukungnya seperti Gary Becker, Edward Denison, dan Theodore Schultz yang menjelaskan proses dimana
pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Argumen yang
digunakan dalam teori ini adalah manusia yang memiliki pendidikan lebih tinggi
akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang pendidikannya
lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas maka semakin banyak orang
memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi
nasional akan tumbuh lebih tinggi. Menurut Paul Romer (1991) modal manusia
mengacu pada pemilikan sejumlah pengetahuan dan ketrampilan berproduksi yang
dimiliki seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka modal manusianya
juga akan semakin tinggi (Elwin Tobing
dalam Suara Pembaharuan 31 Desember 1994). Kesimpulannya, pendidikan
memiliki kedudukan dan peran yang strategis untuk ikut serta memerangi
kemiskinan.
Persoalannya, setelah 62 tahun hidup di alam kemerdekaan yang
berarti memiliki kesempatan lebih luas untuk memperoleh pendidikan, angka
kemiskinan di tanah air justru tidak serta-merta menghilang
dari tanah persada ini. Apa yang salah dengan pendidikan kita?
Pertama, pemerintah kurang serius dalam membangun dunia
pendidikan. Kenyataan ini dapat dilihat dari kecenderungan pemerintah pada
setiap kabinet yang tidak menempatkan
pembangunan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Pemerintah tidak
memiliki kemampuan menahan diri dari gempuran godaan pertumbuhan ekonomi dalam label investasi. Pemerintah kemudian mengabaikan investasi
sosial (pendidikan dan kesehatan) yang hasilnya sering tidak tampak. Padahal investasi sosial ini menjadi fondasi dalam membangun
peradaban bangsa. Lihatlah, bagaimana Jepang yang mulai membangun kehancurannya
dengan prioritas pada sektor pendidikan. Akibatnya dalam
kebijakan anggaranpun pemerintah berani melawan ketentuan perundang-perundangan
dengan berbagai macam dalil. Kedua,
pendidikan Indonesia diadakan untuk mengabdi kepada kepentingan penguasa. Dalam
bahasa Romo Paul Suparno, SJ dkk (2003:21), pendidikan dijadikan alat untuk
membela kekuasaan pemerintah agar tetap berkuasa. Dalam situasi demikian
mustahil pendidikan dapat melaksanakan tugas pengembangan diri manusia secara
utuh demi penyempurnaan diri secara terus-menerus. Ketiga, pendidikan bagi masyarakat miskin merupakan pilihan yang
membingungkan. Mengutip apa yang diungkap Darmaningtyas (1999:6), disatu sisi
kemiskinan dianggap faktor penyebab mereka tidak bersekolah, sementara di sisi
lain karena tidak bersekolah mereka sulit untuk bisa keluar dari lingkaran
kemiskinan. Bagi masyarakat miskin pendidikan dianggap sebagai beban karena
terlalu banyak biaya sehingga memunculkan keyakinan bahwa pendidikan justru
semakin memiskinkan mereka. Pilihan yang paling rasional adalah tidak sekolah
atau berhenti sekolah dan mulai
mencari pekerjaan. Apalagi mereka menyaksikan lulusan sekolah justru menjadi
pengangguran yang tak mampu berbuat banyak bagi dirinya sendiri apalagi bagi
masyarakat. Keempat,
sebagaimana diungkapkan Paulo Freire (1999), praktik pembelajaran di sekolah
dewasa ini cenderung mencabut peserta didik dari lingkungan sosialnya. Proses
pembelajaran di sekolah cenderung menyebabkan anak gagap menghadapi
lingkungannya sendiri. Ini karena praktik penyelenggaraan pendidikan di sekolah
cenderung mengasingkan peserta didiknya dari lingkungan masyarakatnya. Padahal
masyarakat merupakan laboratorium belajar terlengkap. Akibatnya ketika harus
kembali ke masyarakat mereka tidak mampu mengeksplorasi seluruh potensi
masyarakat bagi kepentingan diri sendiri maupun masyarakat. Kelima, praktik persekolahan dewasa ini
cenderung memasung kreativitas anak. Apabila merujuk pada studi Jellen dan
Urban, tingkat kreativitas anak-anak Indonesia berusia 10 tahun adalah terendah
di antara anak-anak seusianya dari 8 negara. Urutan tertinggi adalah Filipina,
USA, Inggris, Jerman, India, RRC, Kamerun, Zulu, dan terakhir Indonesia
(Supriyadi 1994:96). Padahal sebagaimana ditulis Editorial Educare edisi
Oktober 2007, “berkat kreativitas manusia bertahan hidup, membangun peradaban
melalui penemuan-penemuan baru, mengembangkan IPTEK, menghasilkan prestasi
olahraga dan seni. Pendidikan kreativitas di sekolah idealnya menjadi bagian
penting proses pembebasan peserta didik dari kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan”
(Educare No.7/IV/Oktober 2007). Keenam, setelah menyelesaikan
pendidikan pun masyarakat miskin tidak serta-merta dapat masuk dalam dunia
kerja. Orang miskin merupakan
kelompok orang yang tidak memiliki akses ke dunia kerja? Akses ke dunia kerja membutuhkan hubungan-hubungan sosial.
Padahal masyarakat
miskin justru miskin dalam modal sosial ini. Sementara itu sistem pembelajaran yang seharusnya membekali
peserta didik dengan berbagai kemampuan justru kurang membekali peserta didik kemampuan
berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Sekolah sebagai masyarakat mini
seharusnya dapat menjadi tempat dimana peserta didik dapat menyatu tanpa
mempersoalkan segala perbedaan.
Kenyataan di atas menunjukkan sebuah realita menyedihkan dari praktik pendidikan
persekolahan di Indonesia yang belum sepenuhnya diarahkan untuk
pengembangan kapasitas manusia (peserta didik) secara utuh. Praktik
pembelajaran sekolah diredusir sedemikian rupa hingga prioritas dan ukuran keberhasilan hanya terarah pada titik kognitif semata. Peserta didik terkurung dalam proses
pembelajaran yang memasung banyak potensi mereka. Mereka mengalami proses pendidikan yang
justru memiskinkan mereka.
Jika demikian, masihkah pendidikan
sekolah menjadi tumpuan harapan yang akan memberdayakan seluruh potensi peserta didik yang
pada gilirannya memberi sumbangsih dalam memecahkan segala persoalan yang
dihadapi masyarakat, bangsa dan negara termasuk kemiskinan? Pertanyaan bernada
skeptis ini bukanlah sebuah kegelisahan
baru. Sebagaimana diketahui, bahwa beberapa dasawarsa yang lalu Ivan Illich
telah mempertanyakan kegunaan sekolah bagi hidup yang sesungguhnya dalam
masyarakat. Pendukung teori alokasi atau persaingan status seperti Lester
Thurow, John Meyer, Randall Collins juga mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan
tidak selalu sesuai dengan kualitas pekerjaan, sehingga orang yang berpendidikan
tinggi ataupun rendah tidak berbeda produktivitasnya dalam menangani pekerjaan
yang sama. Apalagi dalam era perkembangan teknologi seperti sekarang ini
angkatan kerja yang berkeahlian tinggi tidak begitu dibutuhkan. Meskipun
orang-orang berpendidikan tinggi memiliki proporsi lebih tinggi dalam
pendapatan nasional, tetapi peningkatan proporsi orang yang berpendidikan
tinggi dalam suatu bangsa tidak akan secara otomatis meningkatkan ekspansi
ataupun pertumbuhan ekonomi (Elwin
Tobing dalam Suara Pembaharuan 31 Desember 1994).
Meski demikian, masyarakat sudah “terlanjur mempercayai”
pendidikan sebagai suatu sarana untuk meningkatkan kualitas hidup, yang juga
berarti solusi untuk mengeluarkan
masyarakat dari kemiskinan. Mau tidak mau dunia pendidikan harus memperbaharui
diri, melakukan perubahan sehingga mampu memberdayakan seluruh potensi atau
kapasitas kemanusiaan peserta didik. Beberapa tawaran solusi strategis maupun
teknis dapat dijadikan bahan pertimbangan, antara lain; pertama, mengembalikan pendidikan sebagai sektor utama dalam
prioritas pembangunan. Pendidikan sebagai induk dan rumah yang melahirkan manusia
berkualitas yang menopang kelancaran pelaksanaan pembangunan nasional. Kedua, untuk maksud tersebut, praksis
pendidikan di tanah air harus dibebaskan dari segala muatan politis. Bahwa
pilihan untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan
nasional sebagai sebuah keputusan politis, tidak harus menjadikan pendidikan
sebagai alat politik. Ketiga, untuk
melancarkan hal-hal tersebut masyarakat secara mandiri membentuk kelompok
peduli pendidikan dan secara independen melakukan kontrol baik dalam tataran
kebijakan maupun operasional. Karena itu masyarakat harus diberikan keleluasaan
untuk mengakses seluruh informasi pendidikan, dan pemerintah wajib menyiapkan
dan memberi kemudahan. Keempat, prioritas
pendidikan untuk keluarga miskin perlu dijabarkan secara lebih operasional
sehingga lembaga pendidikan memiliki indikator yang jelas untuk menentukan keluarga miskin. Ini harus dilakukan karena seringkali
masih terdengar angka putus sekolah karena persoalan pembiayaan sementara
program-program bagi keluarga miskin justru salah sasaran. Sebagaimana diketahui lembaga pendidikan merupakan institusi yang asing dengan
penentuan indikator kemiskinan. Apalagi sejak dahulu
masih susah mendefinisikan kemiskinan. “Ada yang mengukur dari tingkat biaya
konsumsi, dari depriviasi atau kehilangan kemampuan seperti penurunan tingkat
gizi, buta huruf, dan buruknya akses pada pelayanan kesehatan, ada pula yang
mengukur dari pendapatan yang mereka terima, atau dari bentuk rumah” (Eko Parasetyo
2004:7). Keadaan ini diperumit
oleh opini sesat yang justru dihembuskan oleh pemerintah sendiri tentang
pendidikan gratis. Opini yang membangunkan harapan kaum miskin ini
justru diingkari pemerintah sendiri. Kelima, sekolah kejuruan yang secara konseptual
bertujuan mempersiapkan peserta didik memasuki dunia kerja harus mampu
menyiapkan peserta didik dengan kompetensi yang memadai,
bukan saja sekedar memenuhi tuntutan dunia kerja atau
tuntutan pasar tetapi mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian,
misalnya bengkel seorang lulusan otomotif jangan
sampai kalah bersaing dengan bengkel seseorang tidak pernah mengenyam pendidikan. Sementara satuan pendidikan kejuruan yang memperoleh angin
segar dengan porsi 70:30 bagi pendidikan kejuruan justru hanya “rakus”
menggenjot kuantitas tanpa keseriusan menangani aspek kualitas. Keenam, pendidikan
nonformal berupa kursus-kursus harus mendapat perhatian dari pemerintah
terutama dalam menjamin kualitas penyelenggaraannya. Ketujuh, pendidikan kreativitas yang menjadi sajian utama Educare
Nomor 7/IV/Oktober 2007, perlu dijabarkan secara operasional. Sebab sebagaimana
terjadi di lapangan, ternyata tidak mudah mengaplikasikan pendidikan
kreativitas di sekolah. Selain karena kemampuan guru sendiri terbatas, UN yang
hanya memberi peluang satu jawaban benar sangat menghambat kreativitas guru
maupun anak. Sejauh yang dapat ditempuh adalah proses pembelajaran demokratis
dengan multimetode terutama di kelas VII dan VIII atau X dan XI di tingkat SMP
dan SMA. Meski demikian para
guru dapat mengembangkan kreativitas peserta didik dengan mengikuti beberapa
resep yang diberikan Dr. E. Mulyasa, M.Pd antara lain: 1) jangan terlalu banyak
membatasi ruang gerak siswa dalam pembelajaran dan mengembangkan pengetahuan
baru, 2) bantulah siswa memikirkan sesuatu yang belum lengkap, mengeksplorasi
pertanyaan, dan mengemukakan gagasan yang original, 3) bantulah siswa
mengembangkan prinsip-prinsip tertentu ke dalam situasi baru, 4) berikan
tugas-tugas secara independent, 5) kurangi kekangan dan ciptakan
kegiatan-kegiatan yang dapat merangsang otak, 6) berikan kesempatan kepada
untuk berpikir reflektif terhadap setiap masalah yang dihadapi, 7) hargai
perbedaan individu peserta didik, dengan melonggarkan aturan dan norma kelas,
8) jangan memaksakan kehendak, 9) tunjukkan perilaku-perilaku baru dalam
pembelajaran, 10) kembangkan tugas-tugas yang dapat merangsang tumbuhnya
kreativitas, 11) kembangkan rasa percaya diri siswa, dengan membantu mereka
mengembangkan kesadaran dirinya secara positif, tanpa menggurui dan mendikte
mereka, 12) kembangkan kegiatan-kegiatan yang menarik, seperti teka-teki dan
nyanyian yang dapat memacu potensi secara optimal, 13) libatkan siswa secara
optimal dalam proses pembelajaran, sehingga proses mentalnya bisa lebih dewasa
dalam menemukan konsep dan prinsip-prinsip ilmiah (2005:169). Kedelapan, pendidikan kewirausahaan (entrepreneur) di lingkungan pendidikan harus mulai digalakan. Pendidikan
ini meliputi pembentukan pola pikir dan skill.
Pembentukan pola pikir dapat dibentuk melalui pemberian motivasi sejak awal,
menumbuhkan atau memicu keinginan, testimony cerita sukses para pengusaha baik
yang berskala kecil, menengah, maupun pengusaha besar, terutama mereka yang
memulai usaha dari nol. Literatur-literatur pun dapat dipergunakan untuk membangun pola pikir terutama kemauan untuk
memulai wirausaha. Lembaga pendidikan dapat mengembangkan skill peserta didik
dalam bidang wirausaha terutama dalam bidang manajemen dan strategi bisnis. Ini
dapat menyangkut distribusi strategy, marketing strategy, sales manajemen,
service manajemen, dsb. Setelah proses pendidikan ini dilalui, pemerintah perlu
memfasilitasi penyediaan dana karena salah satu
alasan klasik para wirausahawan kecil adalah kurangnya modal. Meskipun dewasa
ini banyak lembaga keuangan menyediakan berbagai fasilitas kredit namun kaum miskin tidak memiliki akses
terhadap lembaga-lembaga tersebut.
Pada akhirnya persoalan kemiskinan harus dilihat sebagai persoalan bersama
yang memerlukan penanganan bersama secara simultan. Sebagai institusi yang
berurusan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pendidikan
diharapkan benar-benar dapat meningkatkan kapasitas manusia sebagai modal utama
dalam memerangi kemiskinan. Semoga!