Kamis, 10 November 2011

Guru Berbicara, Murid Tertidur


Tulisan ini diadaptasi dari tulisan Rhenald Kasali dengan judul Pemimpin Berbicara, Rakyat Tertidur yang dimuat dalam harian Kompas, Sabtu, 19 April 2008. Apa yang diangkat oleh Rhenald Khasali dalam tulisan tersebut menginngatkan kita pada praktik yang terjadi dalam dunia pendidikan.


Sudah tiga kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berang melihat tamu-tamunya tertidur saat mendengarkan pidatonya di Istana Negara. Di lingkugan pendidikan, guru sering dituntut untuk meninggalkan model pembelajaran monoton yang menekankan guru berceramah karena menyebabkan siswa cenderung pasif bahkan tertidur. Benarkah perubahan cepat yang dialami Indonesia dewasa ini telah membuat murid sulit mendengarkan?
Di era perubahan sekarang ini, mendengarkan jauh lebih sulit. Jika Cuma mendengar, tentu tak sulit sebab telinga selalu terbuka. Namun, mendengarkan butuh pikiran, untuk itu diperlukan energi amat besar. Pakar komunikasi McGregor pernah mengingatkan (1970), manusia adalah makhluk yang malas. Kita malas mendengarkan jika yang bicara tidak benar-benar mampu membujuk (persuasive). Maka McGregor tidak menyalahkan pendengar jika mereka tertidur sebab secara alamiah manusia benar-benar malas mendengarkan.
Mendengarkan, merupakan upaya yang memerlukan energi dan konsentrasi. Energi bisa hilang di jalan karena kemacetan lalu lintas, amarah, dan berbagai masalah pekerjaan. Sementara konsentrasi ditentukan oleh daya persuasi guru, gangguan-gangguan informasi, desain ruangan, pencahayaan, kualitas suara, dan intonasi serta kebiasaan. Bayangkan, apa jadinya mendengarkan sesuatu dalam keadaan yang penuh gangguan. Semakin sulit mendengarkan dan semakin mudah tertidur.
Era Perubahan
Era perubahan ditandai dengan presentasi multimedia yang kaya ilustrasi. Kecepatan menjadi sangat penting. Lihatlah presenter-presenter dan dialog-dialog di televisi. Semua berbicara sangat cepat dalam hitungan detik. Tidak ada tempat lagi bagi narasumber yang lemot (lemah otak) atau laksmi (lambat mikir). Intonasi suara yang naik turun berirama secara ekstrim, bahkan berteriak, menjadi penentu apakah penonton memindahkan channel-nya atau tidak.
Mereka juga tampil lebih muda. Lebih modis, lebih berani dengan warna, jokes, contoh, bahkan konflik dan drama. Terus terang, spontan, dan bicara tanpa teks. Seorang tak akan dibiarkan bicara sendiri bermenit-menit. Selalu saja ada yang memotong pembicaraan. Sehari-hari masyarakat juga mulai terbiasa berkomunikasi cepat dengan kalimat-kalimat pendek (SMS). Di luar itu, berita-berita digital dan lebih menghibur mengepung masyarakat. Semua lebih singkat, lebih cepat, lebih menarik. Suka atau tidak suka, kebiasaan baru masyarakat mendengar yang demikian telah membentuk cara baru berkomunikasi. Bagaimana dengan para guru dalam menyampaikan (berbicara) materi?
Jujur, harus kita katakan, mereka semua mengabaikan berbagai tuntutan perubahan itu. Pembicaraannya panjang, bertele-tele, abstrak, terlalu banyak nasihat dan basa-basi, serta kadang disampaikan sambil membaca dan tanpa ekspresi. Kecepatannya lamban, intonasinya lemah, tidak ada interaksi, sementara penampilannya juga serius dan kaku. Kalau guru mengabaikan semua itu, bisa dibayangkan bagaimana hasil pembelajaran dan hasil pendidikan pada akhirnya. Semua siswa berbicara sendiri-sendiri dan tidak ada lagi yang mendengarkan. Tensi meninggi, amarah tak terkendali, respek memudar karena murid mendengar hanya terpaksa. Jangan terkejut bila murid lebih memilih selebriti pada suatu tontonan yang mengerti perubahan dan lancar berkomunikasi daripada guru yang kurang memahami denyut nadi perubahan.
Reformasi Pembelajaran
Kegagalan komunikasi para guru dan gagalnya murid mendengarkan, sebenarnya tidak lepas dari gagalnya reformasi sistem pembelajaran dalam beradaptasi dengan perubahan. Sistem pembelajaran telah menjadi sebuah pekerjaan sehari-hari yang penuh dengan kerutinan. Mereka mengajar demikian karena dulu mereka juga diajar dengan cara demikian. Presentasi dan pembelajaran guru dibuat tegang, kaku, dan tertulis secara runtut, dengan metode cut and paste, sehingga semua pembukaan dan penutupnya sama. Para guru seakan-akan dipenjara dan dibelenggu dengan aturan-aturan dan tradisi yang dibuat satu dua dekade lalu.
Guru yang terbelenggu pun mengikuti semua itu dengan patuh sehingga administrasinya bagus, tetapi muridnya malas mendengarkan. Kondisi jaman sekarang menuntut orang lebih cerdas, mendorong agar gurunya sadar konteks dan membiasakan diri menyampaikan tanpa membaca, tetapi bisa berbicara ringkas, padat, cepat, berirama, dan interaktif. Hanya inilah yang bisa menyelamatkan respek para siswa terhadap para gurunya. Ayo bongkar kebiasaan lama dalam mengajar yang sudah ketinggalan jaman sampai tuntas. Guru jangan lagi lemot dengan mengajar sambil membaca buku teks atau mengajar hanya dengan berbicara saja.
                                                                       

Menjauhkan Dunia Pendidikan Dari Kekerasan


Hukuman baik secara fisik maupun psikologis merupakan salah satu persoalan rumit dalam ilmu pendidikan. Meskipun demikian hukuman sering dipandang sebagai salah satu sarana dalam proses pendidikan. Realitasnya hukuman sering menimbulkan nuansa kekerasan dalam lingkungan pendidikan yang seyogyanya berlangsung dalam nuansa humanis dan damai. Maraknya hukuman menjadi sebuah indikator kegagalan lembaga pendidikan dalam menjalankan perannya memanusiakan manusia muda. Diperlukan wawasan, kesadaran, serta paradigma baru dalam kegiatan pembelajaran untuk menjauhkan lembaga pendidikan dari praktik kekerasan, seperti spirit keramahan mendidik, menghargai perbedaan, demokratis, menjauhkan diri dari kekerasan dalam sistem pendidikan di tanah air.


Akhir di tahun 2008 media massa ramai memberitakan kekerasan dunia pendidikan. Tidak dipungkiri persoalan hukuman baik secara fisik (seperti memukul, mencubit, menjewer, dsb) atau psikologis (misalnya memarahi, melarang, tidak diajak bicara, membatalkan janji, dsb) merupakan sebuah masalah pelik dalam ilmu pendidikan. Beberapa ahli pendidikan bahkan memandang bahwa hukuman merupakan suatu sarana dalam proses pendidikan. Prof. Dr. Kohnstamm, seorang tokoh pendidikan Belanda memandang bahwa hukuman diperlukan dalam pendidikan watak. Dikatakannya bahwa hukuman itu perlu untuk pendidikan kata hati, yaitu dengan hukuman diharapkan peserta didik dapat menyadari kesalahannya, dan bila kesalahannya telah disadari, pendidik wajib memberikan pengampunan (Prof Sikun Pribadi 1987:6). Dalam kesadaran  demikian para pendidik termasuk orang tua sering menggunakan hukuman sebagai sebuah alat dalam proses pendidikan. Hukuman dipandang akan menimbulkan efek jera bagi pelaku tindakan destruktif maupun peserta didik lainnya.
Persoalannya  bahwa hukuman sering tidak memberi efek apa pun. Realita menunjukkan perilaku destruktif seringkali ditunjukkan oleh peserta didik yang sama yang telah menerima hukuman. Orang yang dihukum sering merasa tidak nyaman, tidak dihargai, merasa diperlakukan tidak adil. Perilaku destruktif sering dipandang sebagai suatu balas dendam sehingga memunculkan kembali perilaku destruktif tersebut. Dalam pandangan psiko-analisa  setiap jenis hukuman akan meningkatkan ketegangan pada peserta didik. Setiap ketegangan yang sifatnya negatif menimbulkan frustrasi. Kondisi frustrasi mengundang terbentuknya sikap agresif yang kurang sehat, karena masalah tidak terpecahkan secara rasional. Bahkan lebih mengerikan bahwa hukuman jasmani pada anak kecil dapat menimbulkan kelak jika telah dewasa reaksi yang sifatnya sadistis atau masokistis (Prof. Sikun Pribadi 1987:10). Kenyataan ini sejala dengan  pandangan Sosiolog Azwar Ananda, kekerasan yang terjadi sekarang merupakan kegagalan dari sistem pendidikan yang ditanamkan sejak 20 tahun lalu. Sistem pendidikan saat itu mengedepankan otokrasi, mengabaikan demokrasi, sering memberikan sanksi dalam bentuk kekerasan serta kurang mengedepankan nilai-nilai perbedaan. Karena diberi contoh sikap-sikap otoriter dan kekerasan seperti saat memberikan hukuman, akibatnya ketika ada kesempatan, masyarakat mempraktikkannya antara lain dengan melakukan kekerasan.
Terkait kekerasan dalam masyarakat dewasa ini menurut Psikolog Prof Dr. Prayitno MSc Ed (Univ Padang), sistem pendidikan yang salah turut memberikan kontribusi terhadap terjadinya kekerasan di tengah masyarakat. Misalnya, guru tanpa sungkan memberikan hukuman fisik kepada murid-muridnya yang lalai atau melakukan kekerasan. Hukuman ini berbekas selama bertahun-tahun pada murid sehingga ketika ada kesempatan melampiaskannya dalam masyarakat ke kelompok lain. Disisi lain sistem pendidikan Indonesia selama bertahun-tahun kurang menekankan aspek moral, cinta kasih, dan kelembutan pada murid. Akibatnya, murid dibiarkan sendiri mencari nilai-nilai yang baik menurut ukurannya sendiri, bukan ukuran masyarakat. Itulah sebabnya setelah melakukan kekerasan, masyarakat merasa tidak melakukan kesalahan. Kekerasan dianggapnya suatu yang lazim.
            Dari pandangan-pandangan tersebut jelas bahwa hukuman baik secara fisik maupun psikologis tidak menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didik menjadi manusia yang utuh maupun bagi perkembangan masyarakat yang lebih beradab. Dalam hal ini para  penggerak kegiatan pendidikan harus memperhatikan beberapa hal penting. Pertama,  sistem pendidikan  dari skala nasiona hingga ke satuan pendidikan harus dibangun agar lebih demokratis, menghargai perbedaan, serta menjauhkan diri dari nilai-nilai kekerasan. Kedua, bahwa di pundak para guru dibebankan tugas suci memanusiakan manusia muda. Memanusiakan manusia berarti setiap guru mengambil bagian dalam mendidik manusia muda  melalui proses  mendampingi, membimbing, dan mengasah dengan kasih sehingga peserta didik tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang utuh dalam sikap, mental, serta perilaku. Proses pendidikan melalui proses pendampingan dan bimbingan menunjukkan kedekatan emosional antara guru dan peserta didik. Kedekatan emosional cenderung memperlihatkan sebuah kualitas hubungan yang dinaungi cinta kasih. Ketika cinta kasih hadir memenuhi hati, kekerasan akan tersisihkan. Ini harus menjadi paradigma mendidik yang dianut para guru. Ketiga, kehadiran guru di kelas dalam peristiwa pengajaran  harus dapat menciptakan sebuah komunitas moral. Para guru semestinya membantu setiap peserta didik untuk dapat saling menghargai satu sama lain, memandang yang lain sebagai pribadi yang unik, memiliki rasa hormat, saling mengasuh satu sama lain, dan merasakan diri mereka sebagai bagian dalam dan bertanggung jawab atas kelompok. Menciptkaan komunitas moral seperti ini tidak mudah mengingat tekanan kelompok  sebaya bisa sangat kuat terjadi di dalam kelas. Dalam keseluruhan itu guru adalah teladan, tempat peserta didik menemukan kesebangunan antara perkataan dan pebuatan. Keempat, secara empiris kedekatan emosional dapat dibangun melalui kegiatan ekstrakurikuler yang memungkinkan peserta didik dan guru dapat berkomunikasi tanpa dihalangi sekat formalitas. Kegiatan home visit dari para guru sesungguhnya merupakan sebuah kekuatan untuk membangun  saling pengertian antara guru dan peserta didik.




Membantu Masyarakat Miskin Memperoleh Pendidikan


Hal menarik dari upaya pengentasan kemiskinan diuraikan oleh Prof. Dr. Hj. Sutyastie Soemitro Remi dan Prof. Dr. Prijono Tjiptoherjanto dalam bukunya Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia. Dalam catatan kedua pakar ini disebutkan bahwa "keberhasilan pemerintah orde baru menurunkan jumlah penduduk miskin lebih dari separuh selama kurun waktu dua dasawarsa ternyata ditopang berbagai kebijakan di luar program penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Program-program tersebut yang memberi andil besar dalam upaya pengurangan kaum miskin di Indonesia. Program itu antara lain; pertama, keberhasilan pelaksanaan program Keluarga Berencana. Kedua,  pertumbuhan sektor industri dan jasa selama dua dasawarsa sampai akhir 1996. Sebagaimana diketahui bahwa kedua sektor ini memberi upah yang lebih tinggi dibandingkan sebagai buruh tani yang menjadi kantong kemiskinan terbesar. Ketiga, faktor sosiologis dan psikologis berupa keinginan penduduk miskin itu sendiri untuk keluar dari jebakan kemiskinan.
Apa yang diungkapkan kedua pakar di atas paling tidak menyiratkan 2 hal penting yang patut mendapat perhatian, yaitu: 1) upaya pengentasan kemiskinan tidak harus melalui upaya yang langsung berhubungan dengan kemiskinan. Dalam jangka pendek program-program seperti BLT dan sejenisnya memang harus ditempuh untuk menjamin kelangsungan hidup kaum papa. Namun dalam jangka panjang program-program tersebut dapat dipandang sebagai sebuah bentuk pembodohan bagi masyarakat dengan tampilan yang cantik dan penuh pesona kemanusiaan. Melalui program tersebut masyarakat miskin justru kurang diberdayakan menuju kemandirian. 2) upaya pengentasan kemiskinan harus menempatkan kaum miskin sebagai subyek yang menentukan dan bukan sekedar obyek.
Pengentasan kemiskinan harus dimulai dengan membangun potensi atau kapasitas kemanusiaan kaum miskin  yang meliputi pola pikir, keyakinan, sikap mental, kebiasaan, dan ketrampilan. Dengan pola pikir yang benar dan skill yang memadai kaum miskin dapat keluar dari jerat kemiskinan. Upaya meningkatkan kapasitas manusia dengan demikian sangat urgen sehingga menjadi pilihan yang harus diupayakan dengan komitmen tinggi.
Sampai sejauh ini pendidikan masih dipercaya sebagai pusat pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Alur berpikir  yang umum digunakan adalah pendidikan akan menciptakan manusia yang berkualitas. Semakin tinggi pendidikan seseorang jaminan kualitas pun bertambah, maka peluang mendapat pekerjaan dengan upah yang lebih tinggi lebih terbuka. Dengan upah yang lebih tinggi maka standar dan kualitas hidup yang dijalani lebih layak.
 Namun demikian pendidikan bagi masyarakat miskin merupakan pilihan yang membingungkan. Mengutip apa yang diungkap Darmaningtyas (1999:6), di satu sisi kemiskinan dianggap faktor penyebab mereka tidak bersekolah, sementara di sisi lain karena tidak bersekolah mereka sulit untuk bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Bagi masyarakat miskin pendidikan dianggap sebagai beban karena terlalu banyak biaya sehingga memunculkan keyakinan bahwa pendidikan justru semakin memiskinkan mereka. Pilihan yang paling rasional adalah tidak sekolah atau berhenti sekolah dan mulai mencari pekerjaan. Apalagi mereka menyaksikan lulusan sekolah justru menjadi pengangguran yang tak mampu berbuat banyak bagi dirinya sendiri apalagi bagi masyarakat. Persoalannya apakah masyarakat miskin dibiarkan dalam pilihan tersebut?
Dalam pemahaman umum pendidikan merupakan  hak asasi bagi semua warga masyarakat. Aneka produk perundang-undangan memperkuat pemahaman tersebut. Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa 1948 pasal 26 ayat menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Dari dalam negeri  dapat dirujuk dalam UUD 1945  dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  UUD 1945 pasal 31 ayat 1  menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan. Senada dengan pasal 31 tersebut,  UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 5 menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Namun demikian dalam praktiknya masih banyak warga negara yang belum mendapatkan hak tersebut secara layak. Korban utama  adalah masyarakat miskin. Menurut Kepala Bagian Perencanaan dan Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas,  Nono Adya Supriatno – sebagaimana dilansir Kompas.com – saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta. Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa di bangku tingkat SD,10 juta siswa tingkat SMP, dan 7 juta siswa setingkat SMA. Dari jumlah itu, sedikitnya ada sekitar 2,7 juta siswa tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam putus sekolah. Menurut Nono, biaya sekolah yang relatif mahal ditengarai menjadi penyebab utama tidak berdayanya para siswa miskin melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya. Kesulitan ini semakin berat dengan adanya keharusan membayar uang pangkal, membeli buku tulis, seragam sekolah, dan buku pelajaran. Hal-hal tersebut merupakan beberapa indikator pemicu biaya sekolah menjadi mahal. "Siswa di SMP, hanya 23 persen yang mampu meneruskan ke tingkat SMA. Sisanya tidak bisa meneruskan, diantaranya ada yang terpaksa bekerja”.
Menghadapi kenyataan tersebut, secara yuridis pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak warga negara memperoleh pendidikan. UU No.20 tahun 2003 pasal 11 menandaskan bahwa pemerintah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pasal 12 ayat 1 poin c menyebutkan bahwa peserta didik berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya; dan poin d menyatakan hak peserta didik mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.
Akan tetapi realitasnya  biaya pendidikan dari tahun ke tahun terus mengalami lonjakan. Lonjakan yang tak mampu  dibendung oleh pemerintah dan tak dapat digapai  masyarakat miskin.  Isu pendidikan gratis masih sebatas pada komoditas kampanye atau retorika pemerintah untuk membangun citra tapi miskin dalam implementasi. Kalaupun ada,  sering kali terdengar sekolah masih  melakukan tarikan karena alokasi dari pemerintah dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pelaksanaannya pun masih bersifat diskriminatif. Sementara itu di kalangan masyarakat  pendidikan berkembang keyakinan bahwa pendidikan berkualitas pasti mahal. Sebuah  pandangan yang belum sepenuhnya benar.  Namun bila pandangan tersebut menjadi anggapan dan keyakinan umum masyarakat pendidikan dapat dipastikan bahwa masyarakat miskin akan terpinggirkan dari sistem pendidikan.
Meskipun  UU Sisdiknas telah mengamanatkan bahwa peserta didik yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya berhak mendapat beasiswa prestasi maupun biaya pendidikan, namun realitas di lapangan menunjukkan masih banyak masyarakat miskin yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena biaya pendidikan yang semakin tidak terjangkau. Mereka harus berjuang sendirian. Akibatnya banyak berita miris seperti angka putus sekolah yang makin tinggi maupun bunuh diri akibat perasaan malu karena tidak mampu membayar biaya sekolah.
Sambil terus mendorong dan mengawal peran dan kewajiban negara sesuai amanat perundang-undangan di atas, masyarakat pendidikan harus memikul tanggung jawab sosial dan moral dengan mengambil langkah strategis maupun taktis. Pertama, mengembalikan pendidikan sebagai sektor utama dalam prioritas pembangunan. Pendidikan sebagai  induk dan rumah yang melahirkan manusia berkualitas yang menopang kelancaran pelaksanaan pembangunan nasional. Kedua, untuk maksud tersebut, praksis pendidikan di tanah air harus dibebaskan dari segala muatan politis. Bahwa pilihan untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan nasional sebagai sebuah keputusan politis, tidak harus menjadikan pendidikan sebagai alat politik. Ketiga, untuk melancarkan hal-hal tersebut masyarakat secara mandiri membentuk kelompok peduli pendidikan dan secara independen melakukan kontrol baik dalam tataran kebijakan maupun operasional. Karena itu masyarakat harus diberikan keleluasaan untuk mengakses seluruh informasi pendidikan, dan pemerintah wajib menyiapkan dan memberi kemudahan. Keempat, prioritas pendidikan untuk keluarga miskin perlu dijabarkan secara lebih operasional sehingga lembaga pendidikan memiliki indikator yang jelas untuk menentukan keluarga miskin. Ini harus dilakukan karena seringkali masih terdengar angka putus sekolah karena persoalan pembiayaan sementara program-program bagi keluarga miskin justru salah sasaran. Sebagaimana diketahui lembaga pendidikan merupakan institusi yang asing dengan penentuan indikator kemiskinan. Apalagi  sejak dahulu masih susah mendefinisikan kemiskinan. “Ada yang mengukur dari tingkat biaya konsumsi, dari depriviasi atau kehilangan kemampuan seperti penurunan tingkat gizi, buta huruf, dan buruknya akses pada pelayanan kesehatan, ada pula yang mengukur dari pendapatan yang mereka terima, atau dari bentuk rumah” (Eko Parasetyo 2004:7). Keadaan ini diperumit oleh opini sesat yang justru dihembuskan oleh pemerintah sendiri tentang pendidikan gratis. Opini  yang membangunkan harapan kaum miskin ini justru  diingkari pemerintah sendiri. Kelima, sekolah kejuruan yang secara konseptual bertujuan mempersiapkan peserta didik memasuki dunia kerja harus mampu menyiapkan peserta didik dengan kompetensi yang memadai, bukan saja sekedar memenuhi tuntutan dunia kerja atau tuntutan pasar tetapi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, misalnya bengkel seorang lulusan otomotif jangan sampai kalah bersaing dengan bengkel seseorang tidak pernah mengenyam pendidikan. Sementara satuan pendidikan kejuruan yang memperoleh angin segar dengan porsi 70:30 bagi pendidikan kejuruan justru hanya “rakus” menggenjot kuantitas tanpa keseriusan menangani aspek kualitas. penyelenggaraannya. Keenam, pendidikan kreativitas yang menjadi sajian utama Educare Nomor 7/IV/Oktober 2007, perlu dijabarkan secara operasional. Sebab sebagaimana terjadi di lapangan, ternyata tidak mudah mengaplikasikan pendidikan kreativitas di sekolah. Selain karena kemampuan guru sendiri terbatas, UN yang hanya memberi peluang satu jawaban benar sangat menghambat kreativitas guru maupun anak. Sejauh yang dapat ditempuh adalah proses pembelajaran demokratis dengan multimetode terutama di kelas VII dan VIII atau X dan XI di tingkat SMP dan SMA. Meski demikian para guru dapat mengembangkan kreativitas peserta didik dengan mengikuti beberapa resep yang diberikan Dr. E. Mulyasa, M.Pd antara lain: 1) jangan terlalu banyak membatasi ruang gerak siswa dalam pembelajaran dan mengembangkan pengetahuan baru, 2) bantulah siswa memikirkan sesuatu yang belum lengkap, mengeksplorasi pertanyaan, dan mengemukakan gagasan yang original, 3) bantulah siswa mengembangkan prinsip-prinsip tertentu ke dalam situasi baru, 4) berikan tugas-tugas secara independent, 5) kurangi kekangan dan ciptakan kegiatan-kegiatan yang dapat merangsang otak, 6) berikan kesempatan kepada untuk berpikir reflektif terhadap setiap masalah yang dihadapi, 7) hargai perbedaan individu peserta didik, dengan melonggarkan aturan dan norma kelas, 8) jangan memaksakan kehendak, 9) tunjukkan perilaku-perilaku baru dalam pembelajaran, 10) kembangkan tugas-tugas yang dapat merangsang tumbuhnya kreativitas, 11) kembangkan rasa percaya diri siswa, dengan membantu mereka mengembangkan kesadaran dirinya secara positif, tanpa menggurui dan mendikte mereka, 12) kembangkan kegiatan-kegiatan yang menarik, seperti teka-teki dan nyanyian yang dapat memacu potensi secara optimal, 13) libatkan siswa secara optimal dalam proses pembelajaran, sehingga proses mentalnya bisa lebih dewasa dalam menemukan konsep dan prinsip-prinsip ilmiah (2005:169).   Ketujuh, pendidikan kewirausahaan (entrepreneur) di lingkungan pendidikan harus mulai digalakan. Pendidikan ini meliputi pembentukan  pola pikir dan skill. Pembentukan pola pikir dapat dibentuk melalui pemberian motivasi sejak awal, menumbuhkan atau memicu keinginan, testimony cerita sukses para pengusaha baik yang berskala kecil, menengah, maupun pengusaha besar, terutama mereka yang memulai usaha dari nol. Literatur-literatur pun dapat dipergunakan untuk  membangun pola pikir terutama kemauan untuk memulai wirausaha. Lembaga pendidikan dapat mengembangkan skill peserta didik dalam bidang wirausaha terutama dalam bidang manajemen dan strategi bisnis. Ini dapat menyangkut distribusi strategy, marketing strategy, sales manajemen, service manajemen, dsb. Setelah proses pendidikan ini dilalui, pemerintah perlu memfasilitasi penyediaan dana karena salah satu alasan klasik para wirausahawan kecil adalah kurangnya modal. Meskipun dewasa ini banyak lembaga keuangan menyediakan berbagai  fasilitas kredit  namun kaum miskin tidak memiliki akses terhadap lembaga-lembaga tersebut. Kedelapan, hal kecil dan praktis yang dapat diberikan lembaga pendidikan khususnya dalam pembelajaran di kelas adalah memberikan bimbingan dan pendampingan lebih kepada anak dari keluarga miskin.  Ini karena pada umumnya kemiskinan menyebabkan mereka juga merasa kehilangan kepercayaan diri, rasa rendah diri yang akan mengasingkan mereka dari pergaulan dengan teman, dan keengganan untuk menunjukkan kemampuannya. Mengajak peserta didik untuk berempati terhadap kesulitan masyarakat miskin, membantu fasilitas belajar seperti buku, alat tulis, dsb.
Pada akhirnya persoalan kemiskinan harus dilihat sebagai persoalan bersama yang memerlukan penanganan bersama secara simultan. Bagi lembaga pendidikan katolik memberi prioritas kepada kaum miskin berarti mengemban amanat luhur Sang Guru Sejati  dari Nazareth sekaligus perwujudan jati diri yang harus selalu diperjuangkan. Sebagai institusi yang berurusan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pendidikan diharapkan benar-benar dapat meningkatkan kapasitas manusia sebagai modal utama dalam memerangi kemiskinan. Semoga!

Kamis, 03 November 2011

Mengentaskan Kemiskinan Melalui Pendidikan Kreativitas dan Kewirausahaan


Pengantar
Diskusi peranan pendidikan dalam mengentaskan kemiskinan senantiasa menarik dicermati. Pada satu sisi pendidikan diyakini sebagai sarana ideal menghapuskan kemiskinan karena memampukan peserta didik untuk memasuki dunia kerja. Namun pada sisi lain, muncul pula vonis pendidikan tidak siap pakai. Tulisan ini mencoba menelaah problematik dunia pendidikan untuk ikut berkontribusi mengentaskan kemiskinan. Istilah pendidikan dalam tulisan ini lebih mengacu pada pendidikan formal (sekolah). Ini bertolak dari kenyataan bahwa sejauh ini pendidikan formal masih menjadi pilihan utama masyarakat dalam proses pendidikannya.
Realitas Kemiskinan
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2006 melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin mencapai 39,05 juta (17,75%). Padahal bulan Februari 2005 angka penduduk miskin adalah 35,10 juta (15,97%).  Ini berarti dalam kurun waktu satu tahun saja telah terjadi peningkatan penduduk miskin sebesar kurang lebih 3,95 juta atau sekitar 1,78%. Bila merujuk data Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia bahkan lebih besar lagi, mencapai  120.150.000 atau sekitar 53,4 %. Perbedaan ini bertolak dari indikator yang dijadikan dasar untuk menghitung jumlah orang miskin. Salah satu indikator yang digunakan BPS untuk menentukan kategori orang miskin adalah memiliki penghasilan sebesar 122.000 rupiah per bulan. Sementara Bank Dunia mengkategorikan orang miskin bila memiliki penghasilan 1 dolar per hari atau kurang dari 1 dolar. Itu berarti setara dengan kurang lebih 270.000  ribu per bulan. Perkembangan menggembirakan terjadi di tahun 2007 ketika BPS melaporkan penduduk miskin di Indonesia berkurang 2,13 juta orang yang berarti tinggal 37,17  juta  (16,58%).  Meski demikian keakuratan data ini justru disangsikan banyak kalangan.
Sejauh ini upaya mengentaskan kemiskinan masih terfokus pada program-program yang langsung terkait dengan kemiskinan. Ada banyak program yang telah  digulirkan pemerintah. Pada masa pemerintahan orde baru, misalnya di bidang pertanian terdapat Program Diversifikasi Pangan dan Gizi berupa pemberian bibit tanaman, bibit unggas, dan bibit ikan. Departemen sosial dengan program domba bergulir. Semua program tersebut nampaknya mengalami kegagalan.  Pada masa itu pemerintah juga mencanangkan program inpres desa tertinggal, kredit Bimas (Bimbingan Massal).
Kementrian Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) bahkan memiliki Direktorat Penanggulangan Kemiskinan yang memiliki tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, koordinasi, sinkronisasi pelaksanaan penyusunan dan evaluasi pembangunan nasional di bidang penanggulangan kemiskinan, serta pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya. Masyarakat Indonesia pun kini akrab dengan program-program seperti dana subsidi BBM untuk rakyat miskin yang kemudian muncul dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT), Jaringan Pengamanan Sosial (JPS), bantuan beras bagi rakyat miskin (raskin). Sayangnya, program-program tersebut belum mampu menghapus kemiskinan dari tanah air ini. Faktor  pendataan yang tidak akurat sehingga salah sasaran, ketidaktegasan dalam menegakan aturan, dan yang paling populer adalah penyelewengan alias dikorupsi. Pada tahun 2007 misalnya pemerintah menyediakan dana sebesar 54 triliun rupiah. Dari alokasi tersebut yang tersentuh secara langsung dengan kemiskinan hanya mencapai 5 triliun. Pada tahun  2008, pemerintah berencana mengalokasi dana pengentasan kemiskinan sebesar 62 triliun. Berapa dari alokasi tersebut yang akan langsung tersentuh dengan kemiskinan?
Hal menarik dari upaya pengentasan kemiskinan diuraikan oleh Prof. Dr. Hj. Sutyastie Soemitro Remi dan Prof. Dr. Prijono Tjiptoherjanto dalam bukunya Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia. Dalam catatan kedua pakar ini disebutkan bahwa "keberhasilan pemerintah orde baru menurunkan jumlah penduduk miskin lebih dari separuh selama kurun waktu dua dasawarsa ternyata ditopang berbagai kebijakan di luar program penanggulangan kemiskinan itu sendiri. Program-program tersebut yang memberi andil besar dalam upaya pengurangan kaum miskin di Indonesia. Program itu antara lain; pertama, keberhasilan pelaksanaan program Keluarga Berencana. Kedua,  pertumbuhan sektor industri dan jasa selama dua dasawarsa sampai akhir 1996. Sebagaimana diketahui bahwa kedua sektor ini memberi upah yang lebih tinggi dibandingkan sebagai buruh tani yang menjadi kantong kemiskinan terbesar. Ketiga, faktor sosiologis dan psikologis berupa keinginan penduduk miskin itu sendiri untuk keluar dari jebakan kemiskinan. Sayangnya, dalam masa krisis sekarang program keluarga berencana kurang mendapat perhatian. Apalagi setelah institusi yang menangani masalah kependudukan dibubarkan. Sementara sektor industri dan jasa sekarang ini semakin sulit diharapkan sebagai dampak keengganan para investor menanamkan modalnya di Indonesia akibat krisis multidimensional tanpa akhir.”
Apa yang diungkapkan kedua pakar di atas paling tidak menyiratkan 2 hal penting yang patut mendapat perhatian, yaitu: 1) upaya pengentasan kemiskinan tidak harus melalui upaya yang langsung berhubungan dengan kemiskinan. Dalam jangka pendek program-program seperti BLT dan sejenisnya memang harus ditempuh untuk menjamin kelangsungan hidup kaum papa. Namun dalam jangka panjang program-program tersebut dapat dipandang sebagai sebuah bentuk pembodohan bagi masyarakat dengan tampilan yang cantik dan penuh pesona kemanusiaan. Melalui program tersebut masyarakat miskin justru kurang diberdayakan menuju kemandirian. 2) upaya pengentasan kemiskinan harus menempatkan kaum miskin sebagai subyek yang menentukan dan bukan sekedar obyek. Dalam konteks ini upaya pengentasan kemiskinan harus dimulai dengan membangun potensi atau kapasitas kemanusiaan kaum miskin  yang meliputi pola pikir, keyakinan, sikap mental, kebiasaan, dan ketrampilan. Dengan pola pikir yang benar dan skill yang memadai kaum miskin dapat keluar dari jerat kemiskinan.
Pendidikan dan Kemiskinan
Upaya meningkatkan kapasitas manusia dengan demikian sangat urgen sehingga menjadi pilihan yang harus diupayakan dengan komitmen tinggi. Sampai sejauh ini pendidikan masih dipercaya sebagai pusat pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Alur berpikir  yang umum digunakan ketika dihadapkan pada topik mengentaskan kemiskinan melalui pendidikan yaitu bahwa pendidikan akan menciptakan manusia yang berkualitas. Semakin tinggi pendidikan seseorang jaminan kualitas pun bertambah, maka peluang mendapat pekerjaan dengan upah yang lebih tinggi lebih terbuka. Dengan upah yang lebih tinggi maka standar dan kualitas hidup yang dijalani lebih layak. Artinya mereka berkesempatan luas untuk terlepas dari jeratan kemiskinan. Dalam konteks pelaksanaan pembangunan, pemerintah Indonesia dari periode manapun senantiasa berupaya memacu bidang ekonomi untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Salah satu landasan yang harus dimiliki  dalam upaya tersebut adalah tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang memadai terutama dari segi kualitas.
Alur berpikir ini seolah memperoleh penguatan dari teori modal manusia dengan para pendukungnya seperti Gary Becker, Edward Denison, dan Theodore Schultz yang menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Argumen yang digunakan dalam teori ini adalah manusia yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang pendidikannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas maka semakin banyak orang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan tumbuh lebih tinggi. Menurut Paul Romer (1991) modal manusia mengacu pada pemilikan sejumlah pengetahuan dan ketrampilan berproduksi yang dimiliki seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka modal manusianya juga akan semakin tinggi (Elwin Tobing dalam Suara Pembaharuan 31 Desember 1994). Kesimpulannya, pendidikan memiliki kedudukan dan peran yang strategis untuk ikut serta memerangi kemiskinan.
Persoalannya, setelah 62 tahun hidup di alam kemerdekaan yang berarti memiliki kesempatan lebih luas untuk memperoleh pendidikan, angka kemiskinan di tanah air justru tidak serta-merta menghilang dari tanah persada ini. Apa yang salah dengan pendidikan kita?
Pertama, pemerintah  kurang serius dalam membangun dunia pendidikan. Kenyataan ini dapat dilihat dari kecenderungan pemerintah pada setiap kabinet yang tidak menempatkan  pembangunan sektor pendidikan sebagai prioritas utama. Pemerintah tidak memiliki kemampuan menahan diri dari gempuran godaan pertumbuhan ekonomi  dalam label investasi.  Pemerintah kemudian mengabaikan investasi sosial (pendidikan dan kesehatan) yang hasilnya sering tidak tampak. Padahal investasi sosial ini menjadi fondasi dalam membangun peradaban bangsa. Lihatlah, bagaimana Jepang yang mulai membangun kehancurannya dengan prioritas pada sektor pendidikan.  Akibatnya dalam kebijakan anggaranpun pemerintah berani melawan ketentuan perundang-perundangan dengan berbagai macam dalil. Kedua, pendidikan Indonesia diadakan untuk mengabdi kepada kepentingan penguasa. Dalam bahasa Romo Paul Suparno, SJ dkk (2003:21), pendidikan dijadikan alat untuk membela kekuasaan pemerintah agar tetap berkuasa. Dalam situasi demikian mustahil pendidikan dapat melaksanakan tugas pengembangan diri manusia secara utuh demi penyempurnaan diri secara terus-menerus. Ketiga, pendidikan bagi masyarakat miskin merupakan pilihan yang membingungkan. Mengutip apa yang diungkap Darmaningtyas (1999:6), disatu sisi kemiskinan dianggap faktor penyebab mereka tidak bersekolah, sementara di sisi lain karena tidak bersekolah mereka sulit untuk bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Bagi masyarakat miskin pendidikan dianggap sebagai beban karena terlalu banyak biaya sehingga memunculkan keyakinan bahwa pendidikan justru semakin memiskinkan mereka. Pilihan yang paling rasional adalah tidak sekolah atau berhenti sekolah dan mulai mencari pekerjaan. Apalagi mereka menyaksikan lulusan sekolah justru menjadi pengangguran yang tak mampu berbuat banyak bagi dirinya sendiri apalagi bagi masyarakat. Keempat, sebagaimana diungkapkan Paulo Freire (1999), praktik pembelajaran di sekolah dewasa ini cenderung mencabut peserta didik dari lingkungan sosialnya. Proses pembelajaran di sekolah cenderung menyebabkan anak gagap menghadapi lingkungannya sendiri. Ini karena praktik penyelenggaraan pendidikan di sekolah cenderung mengasingkan peserta didiknya dari lingkungan masyarakatnya. Padahal masyarakat merupakan laboratorium belajar terlengkap. Akibatnya ketika harus kembali ke masyarakat mereka tidak mampu mengeksplorasi seluruh potensi masyarakat bagi kepentingan diri sendiri maupun masyarakat. Kelima, praktik persekolahan dewasa ini cenderung memasung kreativitas anak. Apabila merujuk pada studi Jellen dan Urban, tingkat kreativitas anak-anak Indonesia berusia 10 tahun adalah terendah di antara anak-anak seusianya dari 8 negara. Urutan tertinggi adalah Filipina, USA, Inggris, Jerman, India, RRC, Kamerun, Zulu, dan terakhir Indonesia (Supriyadi 1994:96). Padahal sebagaimana ditulis Editorial Educare edisi Oktober 2007, “berkat kreativitas manusia bertahan hidup, membangun peradaban melalui penemuan-penemuan baru, mengembangkan IPTEK, menghasilkan prestasi olahraga dan seni. Pendidikan kreativitas di sekolah idealnya menjadi bagian penting proses pembebasan peserta didik dari kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan” (Educare No.7/IV/Oktober 2007). Keenam, setelah menyelesaikan pendidikan pun masyarakat miskin tidak serta-merta dapat masuk dalam dunia kerja. Orang miskin merupakan kelompok orang yang tidak memiliki akses ke dunia kerja? Akses ke dunia kerja membutuhkan hubungan-hubungan sosial. Padahal masyarakat miskin justru miskin dalam modal sosial ini. Sementara itu sistem pembelajaran yang seharusnya membekali peserta didik dengan berbagai kemampuan justru  kurang membekali peserta didik kemampuan berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Sekolah sebagai masyarakat mini seharusnya dapat menjadi tempat dimana peserta didik dapat menyatu tanpa mempersoalkan segala perbedaan.
Kenyataan di atas menunjukkan sebuah realita  menyedihkan dari praktik pendidikan persekolahan di Indonesia yang belum sepenuhnya diarahkan untuk pengembangan kapasitas manusia (peserta didik) secara utuh. Praktik pembelajaran sekolah diredusir sedemikian rupa hingga prioritas dan ukuran keberhasilan hanya terarah pada titik kognitif semata.  Peserta didik terkurung dalam proses pembelajaran yang memasung banyak potensi mereka.  Mereka mengalami proses pendidikan yang justru memiskinkan mereka.
Jika demikian, masihkah pendidikan sekolah menjadi tumpuan harapan yang akan memberdayakan seluruh potensi  peserta didik yang pada gilirannya memberi sumbangsih dalam memecahkan segala persoalan yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara termasuk kemiskinan? Pertanyaan bernada skeptis ini  bukanlah sebuah kegelisahan baru. Sebagaimana diketahui, bahwa beberapa dasawarsa yang lalu Ivan Illich telah mempertanyakan kegunaan sekolah bagi hidup yang sesungguhnya dalam masyarakat. Pendukung teori alokasi atau persaingan status seperti Lester Thurow, John Meyer, Randall Collins juga mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan tidak selalu sesuai dengan kualitas pekerjaan, sehingga orang yang berpendidikan tinggi ataupun rendah tidak berbeda produktivitasnya dalam menangani pekerjaan yang sama. Apalagi dalam era perkembangan teknologi seperti sekarang ini angkatan kerja yang berkeahlian tinggi tidak begitu dibutuhkan. Meskipun orang-orang berpendidikan tinggi memiliki proporsi lebih tinggi dalam pendapatan nasional, tetapi peningkatan proporsi orang yang berpendidikan tinggi dalam suatu bangsa tidak akan secara otomatis meningkatkan ekspansi ataupun pertumbuhan ekonomi (Elwin Tobing dalam Suara Pembaharuan 31 Desember 1994).
Meski demikian, masyarakat sudah “terlanjur mempercayai” pendidikan sebagai suatu sarana untuk meningkatkan kualitas hidup, yang juga berarti  solusi untuk mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan. Mau tidak mau dunia pendidikan harus memperbaharui diri, melakukan perubahan sehingga mampu memberdayakan seluruh potensi atau kapasitas kemanusiaan peserta didik. Beberapa tawaran solusi strategis maupun teknis dapat dijadikan bahan pertimbangan, antara lain; pertama, mengembalikan pendidikan sebagai sektor utama dalam prioritas pembangunan. Pendidikan sebagai  induk dan rumah yang melahirkan manusia berkualitas yang menopang kelancaran pelaksanaan pembangunan nasional. Kedua, untuk maksud tersebut, praksis pendidikan di tanah air harus dibebaskan dari segala muatan politis. Bahwa pilihan untuk menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan nasional sebagai sebuah keputusan politis, tidak harus menjadikan pendidikan sebagai alat politik. Ketiga, untuk melancarkan hal-hal tersebut masyarakat secara mandiri membentuk kelompok peduli pendidikan dan secara independen melakukan kontrol baik dalam tataran kebijakan maupun operasional. Karena itu masyarakat harus diberikan keleluasaan untuk mengakses seluruh informasi pendidikan, dan pemerintah wajib menyiapkan dan memberi kemudahan. Keempat, prioritas pendidikan untuk keluarga miskin perlu dijabarkan secara lebih operasional sehingga lembaga pendidikan memiliki indikator yang jelas untuk menentukan keluarga miskin. Ini harus dilakukan karena seringkali masih terdengar angka putus sekolah karena persoalan pembiayaan sementara program-program bagi keluarga miskin justru salah sasaran. Sebagaimana diketahui lembaga pendidikan merupakan institusi yang asing dengan penentuan indikator kemiskinan. Apalagi  sejak dahulu masih susah mendefinisikan kemiskinan. “Ada yang mengukur dari tingkat biaya konsumsi, dari depriviasi atau kehilangan kemampuan seperti penurunan tingkat gizi, buta huruf, dan buruknya akses pada pelayanan kesehatan, ada pula yang mengukur dari pendapatan yang mereka terima, atau dari bentuk rumah” (Eko Parasetyo 2004:7). Keadaan ini diperumit oleh opini sesat yang justru dihembuskan oleh pemerintah sendiri tentang pendidikan gratis. Opini  yang membangunkan harapan kaum miskin ini justru  diingkari pemerintah sendiri. Kelima, sekolah kejuruan yang secara konseptual bertujuan mempersiapkan peserta didik memasuki dunia kerja harus mampu menyiapkan peserta didik dengan kompetensi yang memadai, bukan saja sekedar memenuhi tuntutan dunia kerja atau tuntutan pasar tetapi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, misalnya bengkel seorang lulusan otomotif jangan sampai kalah bersaing dengan bengkel seseorang tidak pernah mengenyam pendidikan. Sementara satuan pendidikan kejuruan yang memperoleh angin segar dengan porsi 70:30 bagi pendidikan kejuruan justru hanya “rakus” menggenjot kuantitas tanpa keseriusan menangani aspek kualitas. Keenam, pendidikan nonformal berupa kursus-kursus harus mendapat perhatian dari pemerintah terutama dalam menjamin kualitas penyelenggaraannya. Ketujuh, pendidikan kreativitas yang menjadi sajian utama Educare Nomor 7/IV/Oktober 2007, perlu dijabarkan secara operasional. Sebab sebagaimana terjadi di lapangan, ternyata tidak mudah mengaplikasikan pendidikan kreativitas di sekolah. Selain karena kemampuan guru sendiri terbatas, UN yang hanya memberi peluang satu jawaban benar sangat menghambat kreativitas guru maupun anak. Sejauh yang dapat ditempuh adalah proses pembelajaran demokratis dengan multimetode terutama di kelas VII dan VIII atau X dan XI di tingkat SMP dan SMA. Meski demikian para guru dapat mengembangkan kreativitas peserta didik dengan mengikuti beberapa resep yang diberikan Dr. E. Mulyasa, M.Pd antara lain: 1) jangan terlalu banyak membatasi ruang gerak siswa dalam pembelajaran dan mengembangkan pengetahuan baru, 2) bantulah siswa memikirkan sesuatu yang belum lengkap, mengeksplorasi pertanyaan, dan mengemukakan gagasan yang original, 3) bantulah siswa mengembangkan prinsip-prinsip tertentu ke dalam situasi baru, 4) berikan tugas-tugas secara independent, 5) kurangi kekangan dan ciptakan kegiatan-kegiatan yang dapat merangsang otak, 6) berikan kesempatan kepada untuk berpikir reflektif terhadap setiap masalah yang dihadapi, 7) hargai perbedaan individu peserta didik, dengan melonggarkan aturan dan norma kelas, 8) jangan memaksakan kehendak, 9) tunjukkan perilaku-perilaku baru dalam pembelajaran, 10) kembangkan tugas-tugas yang dapat merangsang tumbuhnya kreativitas, 11) kembangkan rasa percaya diri siswa, dengan membantu mereka mengembangkan kesadaran dirinya secara positif, tanpa menggurui dan mendikte mereka, 12) kembangkan kegiatan-kegiatan yang menarik, seperti teka-teki dan nyanyian yang dapat memacu potensi secara optimal, 13) libatkan siswa secara optimal dalam proses pembelajaran, sehingga proses mentalnya bisa lebih dewasa dalam menemukan konsep dan prinsip-prinsip ilmiah (2005:169).   Kedelapan, pendidikan kewirausahaan (entrepreneur) di lingkungan pendidikan harus mulai digalakan. Pendidikan ini meliputi pembentukan  pola pikir dan skill. Pembentukan pola pikir dapat dibentuk melalui pemberian motivasi sejak awal, menumbuhkan atau memicu keinginan, testimony cerita sukses para pengusaha baik yang berskala kecil, menengah, maupun pengusaha besar, terutama mereka yang memulai usaha dari nol. Literatur-literatur pun dapat dipergunakan untuk  membangun pola pikir terutama kemauan untuk memulai wirausaha. Lembaga pendidikan dapat mengembangkan skill peserta didik dalam bidang wirausaha terutama dalam bidang manajemen dan strategi bisnis. Ini dapat menyangkut distribusi strategy, marketing strategy, sales manajemen, service manajemen, dsb. Setelah proses pendidikan ini dilalui, pemerintah perlu memfasilitasi penyediaan dana karena salah satu alasan klasik para wirausahawan kecil adalah kurangnya modal. Meskipun dewasa ini banyak lembaga keuangan menyediakan berbagai  fasilitas kredit  namun kaum miskin tidak memiliki akses terhadap lembaga-lembaga tersebut.
Pada akhirnya persoalan kemiskinan harus dilihat sebagai persoalan bersama yang memerlukan penanganan bersama secara simultan. Sebagai institusi yang berurusan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pendidikan diharapkan benar-benar dapat meningkatkan kapasitas manusia sebagai modal utama dalam memerangi kemiskinan. Semoga!